
Pemerintah Bungkam Soal Gugatan UU TNI: “Sudah Final, Tak Ada Urusan Politik!”
Headnews.id – Gelombang kritik terus mengalir terhadap revisi terbaru Undang-Undang TNI, namun pemerintah memilih tetap bergeming. Baik Istana maupun Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin kompak irit bicara soal permohonan uji formil UU Nomor 3 Tahun 2025 yang dilayangkan ke Mahkamah Konstitusi.
Dengan nada mantap, Sjafrie menegaskan bahwa UU TNI hasil revisi DPR sudah bersifat final. Tidak ada lagi ruang diskusi.
“Presiden sudah tanda tangan. Sudah berlaku. Itu hanya urusan administrasi. Bukan soal operasional, apalagi politik,” ujar Sjafrie di Kompleks Parlemen, Rabu (30/4).
Ia juga meminta publik tidak larut dalam kekhawatiran soal kembalinya dwifungsi ABRI ala Orde Baru.
“Jangan terpengaruh isu. Masa lalu sudah selesai,” ujar eks Pangdam Jaya 1998 itu, yang tahu persis gejolak transisi militer pasca-Reformasi.
Nada serupa disampaikan Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi. Ia justru mempertanyakan alasan di balik gugatan ke MK, mengklaim pemerintah sudah transparan dan tidak ada masalah substansi dalam revisi undang-undang tersebut.
“Semua poin sudah dijelaskan ke publik. Tapi kalau masih ada yang mau gugat ya silakan, itu hak warga negara,” ucapnya ringan.
Namun suara dari bawah tak bisa diremehkan. Gugatan ke MK bukan datang dari elite, melainkan dari dua mahasiswa hukum asal Batam: Hidayatuddin dan Respati Hadinata. Mereka menggandeng empat kuasa hukum muda dari Universitas Internasional Batam dan Universitas Riau—generasi baru yang tak gentar menantang negara di meja hukum.
Gugatan yang teregister dengan nomor 58/PUU-XXIII/2025 itu memuat 19 poin tuntutan. Intinya: proses pembentukan UU TNI dianggap melanggar asas keterbukaan dan tidak sesuai prosedur. Mulai dari perubahan Prolegnas secara tiba-tiba, pelanggaran atas asas partisipasi publik, hingga dugaan penyelundupan legislasi yang tidak transparan.
“UU ini cacat formil dan tidak sesuai semangat Reformasi,” tulis para pemohon dalam berkas gugatan.
Bagi mereka, revisi UU TNI ini tak sekadar dokumen hukum. Ini soal arah bangsa—apakah Indonesia tetap pada rel sipil supremasi sipil, atau tergelincir kembali ke bayang-bayang militerisme masa lalu.
Sementara elite berkata “selesai”, suara dari akar rumput justru mulai menggelegar: belum selesai, bahkan baru dimulai.